coretan dari kamar mandi

hanya bualan kata, di mana kesalahan adalah tempatnya

Hukum dua Kali Lipat

Terbongkarnya kasus mafia hukum, suap yang melibatkan mantan deputi gubernur senior BI beserta sejumlah anggota dewan, hingga Markus Pajak, memperlihatkan betapa kotornya bangsa kita. “borok-borok” hampir menjangkit semua institusi dan sendi kehidupan. Apakah bangsa kita akan sembuh dari “penyakit” ini?

Wacana membrantas praktek suap dan korupsi sudah sejak kapan tahun dibicarakan, teori sudah dibuat, dan pecegahan sudah dilakukan. Tapi tampaknya tidak ada perubahan yang signifikan. Hal ini terjadi entah karena penyakitnya yang sudah akut atau obatnya yang kurang manjur?

Tindakan preventif yang dilakukan pemerintah yaitu dengan program Remeunarisasi, terbukti gagal menjegal tindakan korupsi, dengan terbongkarnya kasus pengemplangan pajak di Departemen keuangan memperlihatkan bahwa tindakan suap atau korupsi harus ditindak secara represif, yakni hukuman tegas, yang bisa menimbulkan efek jera.

Salah satu berita di majalah tempo (edisi 29 maret-4 april 2010), di mana produsen timbel di inggris, Innospece Ltd terbukti melakukan suap senilai 8,5 juta dolar atau setara dengan 77 miliar rupiah kepada pejabat Kementrian ESDM (energi dan sumber daya mineral) dan Direksi PT Pertamina (persero), pengadilan di Shoutwark Crown Inggris menvonis perusahaan timbel tersebut dengan denda sebesar 12,7 juta dolar yang jika dirupiahkan besarnya Rp. 110 Miliar.

Dari vonis yang dijatuhkan, di mana nomianal denda lebih besar dari nilai uang (suap) yang dilakukan, bisa diasumsikan bahwa sanksi yang dijatuhkan bertujuan untuk memberikan efek jera. Hal ini berbeda dengan di Indonesia di mana dalam kasus korupsi, vonis yang dijatuhkan tidak sesuai dengan tindak pidana yang diperbuat, sehingga tidak menimbulkan efek “kapok”.

Jika ingin bangsa kita “sehat”, bersih dari “borok-borok” yang menjangkit berbagai lembaga, maka tidak salah jika sistem hukum di kita dirombak.

Apabila mengutil di Mall atau Supermarket dikenakan sanksi 2-3 kali lipat dari harga sebuah barang yang dicuri, mengapa untuk kasus korupsi tidak? Seperti contoh berita yang masih hangat yaitu kasus korupsi yang melibatkan Achmad Sujudi, mantan Mentri Kesehatan pada era Megawati Soekarno Putri, yang mengakibatkan kerugian Negara sebesar 104,47 miliar. Vonis yang dijatuhkan hanya 27 bulan penjara dan denda Rp. 100 juta.

Sangat tidak sesuai dengan akibat yang ditimbulkan yaitu kerugian negara yang mencapai 104,47 Miliar. Apabila seorang koruptor dihukum dengan denda dua kali lipat dari jumlah kerugian Negara. Maka mantan mentri tersebut akan dikenakan denda yang mencapai 200 miliar rupiah. Begitu pula untuk kasus kecil seperti pembuatan KTP (kartu tanda penduduk), apabila pegawai kecamatan memungut biaya “liar” misalnya sebesar RP. 10 ribu rupiah maka akan dikenai denda sebesar 20 ribu rupiah.

Dengan sanksi seperti itu maka seorang pelaku korupsi akan berpikir ulang sebelum melakukan tidakannya. Dan, apabila tindak korupsi terjadi seperti sekarang ini, maka dalam APBN (Anggaraan Pendapatan dan Belanja Negara) akan ada penerimaan Negara non pajak yaitu dari koruptor yang besarnya mungkin akan lebih besar dari penerimaan pajak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar