coretan dari kamar mandi

hanya bualan kata, di mana kesalahan adalah tempatnya

“Gagal Berbohong”

Ilustrasi dari Google

Penting baginya mempermasalhakan sebuah kata. Padahal yang dimaksudakan adalah berkaca diri. “Bohong” dan “gagal” kata yang menjadi pertikaian, “lebih baik disebut gagal daripada dituduh berbohong”. Ahh…. hanya pembelaan yang bagi saya sama buruknya. logika sekolah dasar saya mengatakan “ya gagal karena telah bohong”

Mungkin itu penting bagi mereka yang mementingkan penampilan, yang selalu menonjolkan kecantikan, yang selalu sibuk mendandani muka. Mereka tak sadar atau pura-pura lupa, sikapnya membuat orang benci, meski terlihat “cantik”, kebencian itu tidak akan hilang, karena perilakunya dilakukan berulang-ulang dan menyinggung hal yang paling dasar.

Anehnya mereka sangat bangga dengan penampilan luar mereka. Atau mungkin hanya itu keuunggulan yang mereka miliki. Dan kemudia berlindung di balik dinding “ manusia tidak ada yang sempurna” kalau itu semua orang tahu dan semua orang sadar. Anda adalah orang pilihan, orang yang mempunyai kelebihan. Tapi, bukan kelebihan itu yang dibutuhkan. jika kelebihannya itu dan kalau boleh saya kasih saran mending melamar ke Production House (PH). Saya yakin karir akan cepat meroket, sama-sama bikin populer, dan tidak usah khawatir akan popularitas.

Semoga 3 tahun ke depan orang-orang tidak terbuai lagi dengan akting-akting nya, tidak menelan mentah sloganya. Semoga nantinya orang-orang memilih mereka yang menanam pohon jeruk yang berbuah manis, bukan ynag berbuah asam…….haseummmmm…

Read More......

Iringan Detak

Gambar Nambut Ti Google


Iringan Detak

Detak-detik selalu gegas melangkah
Seakan tabah ataupun gagah tak terbantah
Meski di luar mereka tak mau singgah
Malah bersemangat dengan guratan sumpah serapah

Di sini akar tertancap kuat dan tetap kokoh
Ditemani desiran nafas dan bisikan para tokoh
Tanpa peduli dilempar gumpalan cemo’oh
Karena yakin bisikan itu datang dari mereka yang tergopoh-gopoh

Suatu saat di mana matahari ditunggu
Kalian pasti gagu seperti awan yang digelayuti kelabu
Sehingga hanya ada penyesalan dengan gemericik tangis
Sadar akan cuaca yang terlalu sinis

Hey ini bukan murka yang berharap petaka
Jangan jadikan dendam yang digambarkan dengan muka merah padam
Hey detak ini menunggu terbahak
Menunggu senyaman kalian yang berhak

Awiligar, Bandung 20 januari 2011

Read More......

Nasi Kucing Untuk Cecunguk Malaysia


Gambar: pinjam dari Google

Beberpa hari terakhir ini sedang gandrung-gandrunya menyantap “nasi kucing”. Makanan yang dalam bahasa Jawa dikenal dengan”sega” kucing, bukan merupakan makanan dengan menu daging kucing tapi porsi dan bentuk makanan yang mirip pakan untuk hewan yang tergolong karnivora ini.

Sedikit heran, kenapa menyukai makanan yang diidentikan dengan hewan. Semoga bukan pelarian karena ketidakmampuan membeli santapan yang umumnya dikonsumsi manusia. Bayangkan jika sebuah pelarian betapa banyaknya masyarakat Indonesia yang mengkonsumsi “nasi kucing” karena makanan untuk manusia dibuat seperti barang mewah. Jika memang terjadi bisa dibayangkan juga setiap terminal atau perempatan jalan, “warung tegal” atau “rumah makan padang” akan tergusur oleh warung nasi kucing.

Tetapi jangan salah nasi kucing ini dapat menghasilkan tenaga yang cukup untuk mengusir Duta Besar dan menghajar puluhan cecunguk-cecunguk Malaysia. Bahkan, masih ada sisa tenaga untuk membakar Petronas dan Proton akibat ulahnya yang membuat gejolak kemarahan memuncak.

Bagaimana tidak, setelah merampas Pulau Sipadan-Ligitan, negara yang dulunya bernama Malaya Britania ini mencuri kebudayaan warisan nenek moyang. Selain itu warga kita yang bekerja di sana diperlakukan layaknya budak pada zaman Romawi kuno. Betapa arogannya negara yang 18 tahun lebih muda dari Indonesia ini.

Tidak henti-hentinya, belum hilang dari ingatan kita kejadian pelecehan kedaulatan dengan ditangkapnya pegawai Kemenetrian Kelautan dan Perikanan di wilayah kita sendiri, mereka (Malaysia) sudah menyulut kembali api peperangan dengan ditenggelamkannya perahu nelayan Indonesia di perairan Internasional Selat Malaka. Lagi-lagi yang dikambing hitamkan adalah batas wilayah yang tidak sinkron.

Sungguh keterlaluan jika penguasa negeri ini membuat penyelesaian masalah hanya dengan pidato yang berisi kata-kata “selaras” dan “harmonis”, dan sangat percuma jika tindakan pemerintahan kita hanya mengirim nota protes yang mungkin hanya ditanggapi senyum oleh Perdana Menteri Malaysia Nazib Razak. Jangan terlalu berharap lebih atas kekuatan diplomasi kita. Sudah waktunya genderang ditabuh jangan sampai rakyat “beringas” di negara sendiri.

Banyak yang bilang “hidup damai, tidak ada cara lain apa selain mengangkat senjata”. Yang perlu diingat peristiwa ini bukan sekali saja terjadi tapi berkali-kali. Ini membuktikan jalan diplomasi hanya sebatas agenda pertemuan, dan tidak membuahkan hasil. kesepakatan UNCLOS (United Nation Convention on the Law of the Sea) sudah berumur 28 Tahun dan Malaysia sampai sekarang belum meratifikasi batas wilayahnya dan masih menggunakan peta 1979. Hal ini sangat meresahkan, bukan hanya bagi Indonesia, tapi dengan negara tetangga lainnya seperti Filipina dan Thailand.

Ada cara lain setelah diplomasi gagal, agar negara kita tidak dilecehkan? Itu menjadi pilihan, apakah mau tunduk ditindas atau bangkit melawan.

Read More......

Lebaran Harmonis dan Selaras

foto: perjalanan galau
diabadikan oleh M. Rizky Ardiansah

Hal yang paling ditunggu adalah pidato presiden menyambut hari raya. Retorika dan pencitraan yang berada pada tingkat mahir, apakah menyebut lebaran di Indonesia selaras dan harmonis?

Lebaran dan mudik di Indonesia sudah menjadi oposisi biner. Menjelang lebaran orang berbondong-bondong pulang ke tanah kelahiranya untuk sekedar merayakan lebaran bersama sanak saudara, berbagi rezeki, bercerita tentang kota besar, dll. Membawa dus atau barang yang bisa dipamerkan dan menjadi bukti keberhasilan hidup, mereka rela berlari-lari, berdesak-desakan, bahkan duduk di atas kereta untuk segera sampai tujuan.
Walhasil fenomena mudik menciptakan pekerjaan besar untuk pemerintah sebagai penyelenggara negara. Pekerjaan yang sebenarnya mereka ciptakan sendiri. Menurut pemerhati sosial Danil Triardianto, fenomena mudik merupakan bukti tidak berhasilnya pemerintah dalam pemerataan pembangunan. Sepakat, jika pembangunan terjadi sebaliknya, yaitu terdesentralisasi, maka perusahaan organda tidak sibuk menyiapkan armada cadangan menjelang lebaran dan Pemerintah daerah di kota besar tidak akan melakukan operasi yustisi pascalebaran.
Peraturan daerah mengenai otonomi daerah, telah gagal kerena tidak berhasil membendung arus urbanisasi. pemerintah berhasil “melukis” Jakarta“ hanya untuk rakyatnya sendiri, tidak untuk orang asing yang sebenarnya sangat dibutuhkan. Pemerintah daerah hanya sibuk dengan kekuasaan dan tidak arifmenggunakan kuasanya.
Akibatnya, Jakarta sudah tidak kuat lagi menanggung beban orang-orang yang menginjakan kaki di atasnya. Buktinya salah satu ruas jalan di Jakarta yaitu Jalan RE. Martadinata amblas. Jika terdapat pilihan, maka harusnya tanah tempat berdirinya istana negara lah yang amblas, agar para penghuni dan pembantunya berpikir. Sangat yakin, apabila ancaman datang kepada pribadi mereka, maka tindakan akan segera dilakukan.
Semoga ke depan lebaran benar-benar selaras dan harmonis, bukan sekedar retorika belaka dan disambut dengan suka cita oleh semua orang.

Read More......

Namanya "Dulu"

Dulu itu namanya pasar kaget
Dulu tempat itu, bak termainal
Dulu juga, pertunjukan musik besar sering digelar
Bahkan Dulu arena ini, menjadi tempat burung melawan keterkungkungannya

Tapi

Sekarang tinggal menjadi pemakaman
Berakhir seperti goa
Laksana situs sejarah, meski entah di mana sejarahnya
Dan tinggal menunggu waktu untuk berwujud seperti pulau tak berpenghuni

Berpikir beribu kali apa salahnya Dulu
Atau yang salah adalah hari ini
Siapa yang merusaknya
Atau
Apakah sudah menjadi keharusannya

Ternyata itu hanyalah Dulu yang ramai pada zamanya
Dulu, yang juga memiliki usia
Dulu yang hanya bisa dipotret untuk ditertawakan esok hari
Dan itu Dulu


Taufik Ismail
Bandung 31 Agustus 2010 dari tempat berpenghuni

Read More......

Politik Domino



ilustrasi dari paman google




Domino permainan yang biasanya digunakan untuk membunuh waktu bahkan berjudi ini, sekarang sudah merambah para elite pemerintahan. Orang-orang yang berkantor di senayan dan Istana Negara sedang gandrung-gandrungnya mengikuti permainan ini.


Perbedaannya, masyarakat biasanya memainkan permainan yang berasal dari Negeri Tirai Bambu ini dengan media kartu, yang orang Sunda biasa menyebutnya kartu gapleh. Sedangkan, para penampuk kewenangan menggunakan kekuasaan politiknya dalam melakoni permainan ini.

Tidak lain, tujuanya adalah untuk mempertahankankan kekuasaan dan melanggengkan pekerjaan kotor yang dibangun di atas sebuah kuburan kebenaran. Bisa kita lihat saking mahirnya para pemangku kekuasaan melakoni permainan ini, banyak kasus- kasus yang menggantung - tidak jelas juntrungannya. Mulai dari kasus Bank Century, Anggodo, kriminalisasi KPK, rekening gendut Polri, hingga perseteruan Jaksa Agung Hendarman Supandji dengan mantan Mentri Hukum dan Ham Yusril Ihza Mahendra.

Para lakon paham betul akan sebab dan akibat, seingga fakta-fakta didistorsi, dimanipulasi, bahkan disingkirkan. Jika fakta dikeuarkan maka kotak Pandora akan terbuka, akibatnya citra akan menjadi buruk, kekuasaan akan hilang, praktik kotor yang menghasilkan pundi-pundi uang akan lenyap.

Pemimpin negara dalam politk pencitraannya mengatakan bahwa bangsa ini lebih stabil dan bergerak ke arah yang lebih baik. Benar, tapi kestabilitasan yang hanya dirasakan oleh penguasa, dan kemajuan yang tidak dirasakan oleh rakyat kecil. Meskipun jika toh kebenaran itu benar-benar ada, merupakan sesuatu yang percuma apabila dibangun di atas kebohongan.

Keahlian para pemain politik domino ini terdeskripsikan dengan jelas, di mana banyak peran-peran yang ditumbalkan seperti hengkangnya Sri Mulyani ke luar negri, di mana testimonya di department keuangan sebagai salam perpisahan telah menimbukan banyak asumsi, dan dimasukannya mantan Kabareskrim Suno Duadji ke dalam jeruji besi akibat ancaman tergerusnya para lakon.

Hanya media yang bisa menyeimbangkan para pemain politik domino ini, sehingga manuver maneuver yang dilakukakan tidak semakin menjerumuskan kebenaran. Media jangan sampai terjebak, yang menyebabkan agenda setting yang dimiliki media digunakan yang pada akhirnya mencekoki masyarakat dengan isu-isu tidak penting yang merupakan agenda pengalihan.

Permainan pasti ada akhirnya dan selalu menyisakan pemenang. Semoga keberlangsungan permainan ini tidak memakan generasi, dan kebenaranlah yang menjadi lakon pemenang.

Read More......

Hukum dua Kali Lipat

Terbongkarnya kasus mafia hukum, suap yang melibatkan mantan deputi gubernur senior BI beserta sejumlah anggota dewan, hingga Markus Pajak, memperlihatkan betapa kotornya bangsa kita. “borok-borok” hampir menjangkit semua institusi dan sendi kehidupan. Apakah bangsa kita akan sembuh dari “penyakit” ini?

Wacana membrantas praktek suap dan korupsi sudah sejak kapan tahun dibicarakan, teori sudah dibuat, dan pecegahan sudah dilakukan. Tapi tampaknya tidak ada perubahan yang signifikan. Hal ini terjadi entah karena penyakitnya yang sudah akut atau obatnya yang kurang manjur?

Tindakan preventif yang dilakukan pemerintah yaitu dengan program Remeunarisasi, terbukti gagal menjegal tindakan korupsi, dengan terbongkarnya kasus pengemplangan pajak di Departemen keuangan memperlihatkan bahwa tindakan suap atau korupsi harus ditindak secara represif, yakni hukuman tegas, yang bisa menimbulkan efek jera.

Salah satu berita di majalah tempo (edisi 29 maret-4 april 2010), di mana produsen timbel di inggris, Innospece Ltd terbukti melakukan suap senilai 8,5 juta dolar atau setara dengan 77 miliar rupiah kepada pejabat Kementrian ESDM (energi dan sumber daya mineral) dan Direksi PT Pertamina (persero), pengadilan di Shoutwark Crown Inggris menvonis perusahaan timbel tersebut dengan denda sebesar 12,7 juta dolar yang jika dirupiahkan besarnya Rp. 110 Miliar.

Dari vonis yang dijatuhkan, di mana nomianal denda lebih besar dari nilai uang (suap) yang dilakukan, bisa diasumsikan bahwa sanksi yang dijatuhkan bertujuan untuk memberikan efek jera. Hal ini berbeda dengan di Indonesia di mana dalam kasus korupsi, vonis yang dijatuhkan tidak sesuai dengan tindak pidana yang diperbuat, sehingga tidak menimbulkan efek “kapok”.

Jika ingin bangsa kita “sehat”, bersih dari “borok-borok” yang menjangkit berbagai lembaga, maka tidak salah jika sistem hukum di kita dirombak.

Apabila mengutil di Mall atau Supermarket dikenakan sanksi 2-3 kali lipat dari harga sebuah barang yang dicuri, mengapa untuk kasus korupsi tidak? Seperti contoh berita yang masih hangat yaitu kasus korupsi yang melibatkan Achmad Sujudi, mantan Mentri Kesehatan pada era Megawati Soekarno Putri, yang mengakibatkan kerugian Negara sebesar 104,47 miliar. Vonis yang dijatuhkan hanya 27 bulan penjara dan denda Rp. 100 juta.

Sangat tidak sesuai dengan akibat yang ditimbulkan yaitu kerugian negara yang mencapai 104,47 Miliar. Apabila seorang koruptor dihukum dengan denda dua kali lipat dari jumlah kerugian Negara. Maka mantan mentri tersebut akan dikenakan denda yang mencapai 200 miliar rupiah. Begitu pula untuk kasus kecil seperti pembuatan KTP (kartu tanda penduduk), apabila pegawai kecamatan memungut biaya “liar” misalnya sebesar RP. 10 ribu rupiah maka akan dikenai denda sebesar 20 ribu rupiah.

Dengan sanksi seperti itu maka seorang pelaku korupsi akan berpikir ulang sebelum melakukan tidakannya. Dan, apabila tindak korupsi terjadi seperti sekarang ini, maka dalam APBN (Anggaraan Pendapatan dan Belanja Negara) akan ada penerimaan Negara non pajak yaitu dari koruptor yang besarnya mungkin akan lebih besar dari penerimaan pajak.

Read More......