coretan dari kamar mandi

hanya bualan kata, di mana kesalahan adalah tempatnya

Nasi Kucing Untuk Cecunguk Malaysia


Gambar: pinjam dari Google

Beberpa hari terakhir ini sedang gandrung-gandrunya menyantap “nasi kucing”. Makanan yang dalam bahasa Jawa dikenal dengan”sega” kucing, bukan merupakan makanan dengan menu daging kucing tapi porsi dan bentuk makanan yang mirip pakan untuk hewan yang tergolong karnivora ini.

Sedikit heran, kenapa menyukai makanan yang diidentikan dengan hewan. Semoga bukan pelarian karena ketidakmampuan membeli santapan yang umumnya dikonsumsi manusia. Bayangkan jika sebuah pelarian betapa banyaknya masyarakat Indonesia yang mengkonsumsi “nasi kucing” karena makanan untuk manusia dibuat seperti barang mewah. Jika memang terjadi bisa dibayangkan juga setiap terminal atau perempatan jalan, “warung tegal” atau “rumah makan padang” akan tergusur oleh warung nasi kucing.

Tetapi jangan salah nasi kucing ini dapat menghasilkan tenaga yang cukup untuk mengusir Duta Besar dan menghajar puluhan cecunguk-cecunguk Malaysia. Bahkan, masih ada sisa tenaga untuk membakar Petronas dan Proton akibat ulahnya yang membuat gejolak kemarahan memuncak.

Bagaimana tidak, setelah merampas Pulau Sipadan-Ligitan, negara yang dulunya bernama Malaya Britania ini mencuri kebudayaan warisan nenek moyang. Selain itu warga kita yang bekerja di sana diperlakukan layaknya budak pada zaman Romawi kuno. Betapa arogannya negara yang 18 tahun lebih muda dari Indonesia ini.

Tidak henti-hentinya, belum hilang dari ingatan kita kejadian pelecehan kedaulatan dengan ditangkapnya pegawai Kemenetrian Kelautan dan Perikanan di wilayah kita sendiri, mereka (Malaysia) sudah menyulut kembali api peperangan dengan ditenggelamkannya perahu nelayan Indonesia di perairan Internasional Selat Malaka. Lagi-lagi yang dikambing hitamkan adalah batas wilayah yang tidak sinkron.

Sungguh keterlaluan jika penguasa negeri ini membuat penyelesaian masalah hanya dengan pidato yang berisi kata-kata “selaras” dan “harmonis”, dan sangat percuma jika tindakan pemerintahan kita hanya mengirim nota protes yang mungkin hanya ditanggapi senyum oleh Perdana Menteri Malaysia Nazib Razak. Jangan terlalu berharap lebih atas kekuatan diplomasi kita. Sudah waktunya genderang ditabuh jangan sampai rakyat “beringas” di negara sendiri.

Banyak yang bilang “hidup damai, tidak ada cara lain apa selain mengangkat senjata”. Yang perlu diingat peristiwa ini bukan sekali saja terjadi tapi berkali-kali. Ini membuktikan jalan diplomasi hanya sebatas agenda pertemuan, dan tidak membuahkan hasil. kesepakatan UNCLOS (United Nation Convention on the Law of the Sea) sudah berumur 28 Tahun dan Malaysia sampai sekarang belum meratifikasi batas wilayahnya dan masih menggunakan peta 1979. Hal ini sangat meresahkan, bukan hanya bagi Indonesia, tapi dengan negara tetangga lainnya seperti Filipina dan Thailand.

Ada cara lain setelah diplomasi gagal, agar negara kita tidak dilecehkan? Itu menjadi pilihan, apakah mau tunduk ditindas atau bangkit melawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar